Waspada ASF : Minimnya Kesadaran Peternak Jadi Ancaman Serius bagi Populasi Babi NTT

Kupang, 24 Februari 2025 – Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan provinsi dengan populasi babi terbesar di Indonesia, mencapai 1.052.208 ekor (BPS, 2024), menjadikannya sebagai gudang ternak babi nasional. Ternak babi memiliki nilai ekonomi dan sosial yang tinggi di NTT karena digunakan dalam berbagai kegiatan adat istiadat, keagamaan, dan sosial kemasyarakatan lainnya. Namun, wabah African Swine Fever (ASF) yang terus merebak menjadi ancaman serius bagi keberlangsungan komoditas ini. Salah satu faktor utama tingginya penyebaran ASF di NTT, selain belum adanya pengobatan yang efektif, adalah rendahnya kesadaran sebagian besar peternak dalam menangani ternak yang terinfeksi, sehingga memperbesar risiko penyebaran virus.

Masih banyak peternak yang membuang bangkai babi mati akibat ASF secara sembarangan ke sungai, hutan, atau area terbuka tanpa memperhatikan standar pemusnahan yang aman. Padahal, virus ASF dapat bertahan lama di lingkungan dan dengan mudah menginfeksi ternak sehat. Selain itu, sebagian peternak bahkan memilih mengonsumsi atau menjual daging babi dari ternak yang terinfeksi ASF. Meski ASF tidak menular ke manusia, perdagangan daging babi terinfeksi memperluas penyebaran virus. Kurangnya kepatuhan terhadap protokol biosecurity, seperti penggunaan disinfektan dan pengendalian lalu lintas keluar-masuk kandang, juga menjadi celah besar dalam penyebaran wabah.

Dampak dari perilaku ini sangat merugikan. Peternak mengalami kerugian ekonomi besar akibat kematian ternak, sementara dalam skala yang lebih luas dapat mengancam ketahanan pangan dan stabilitas ekonomi daerah. Terlebih, dalam konteks budaya lokal NTT, keberadaan ternak babi memiliki nilai sosial tinggi sehingga penyusutan populasi babi juga berpotensi mengganggu pelaksanaan tradisi adat dan kegiatan kemasyarakatan lainnya.

Untuk mengatasi penyebaran ASF, edukasi kepada peternak menjadi langkah utama guna meningkatkan pemahaman tentang bahaya penyakit ini dan pentingnya penerapan biosekuriti yang ketat. Penyuluhan berbasis komunitas dapat mendorong peternak untuk lebih disiplin dalam menangani ternak yang terinfeksi dan mengelola limbah ternak dengan benar.

Selain itu, penerapan regulasi yang jelas disertai sanksi tegas bagi peternak yang membuang bangkai sembarangan atau memperdagangkan daging terinfeksi perlu ditegakkan untuk menekan penyebaran virus. Penyakit ASF merupakan ancaman serius bagi sektor peternakan babi di NTT, namun pencegahan tetap dapat dilakukan jika semua pihak, terutama peternak, memiliki kesadaran dan tanggung jawab bersama. Mari mulai dari diri sendiri untuk menjaga populasi ternak babi, melindungi tradisi lokal, dan memastikan kestabilan ekonomi masyarakat.. (HumasDisnakNTT)