RISIKO PENULARAN PENYAKIT AVIAN INFLUENZA PADA UNGGAS DI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR
Oleh : Drh.Melky Angsar, M.Sc
Kepala Bidang Kesehatan Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner
Dinas Peternakan Provinsi NTT
Risiko terjadinya kasus Avian Influenza (AI) pada peternakan rakyat akibat import DOC, karkas ayam dan telur dari luar NTT
Walaupun sejak 2004, tidak pernah lagi terjadi kasus kematian unggas karena AI di NTT, namun serologis masih menunjukan angka positif di atas 20%. Tentu hal ini cukup mengherankan, karena Provinsi NTT tidak pernah melakukan vaksinasi AI (kecuali di peternakan layer) dan semua DOC, karkas ayam dan telur yang masuk selalu diawasi secara ketat, yaitu berasal dari perusahaan yang sudah dilakukan analisis risiko, memiliki sertifikat kompartemen bebas AI, memiliki Nomor Kontrol Veteriner (NKV) dan menunjukan hasil pemeriksaan laboratorium negatif AI pada screening test setiap produk yang akan diekspor ke Provinsi NTT. Regulasi yang mewajibkan screening test semua bibit dan telur yang masuk ke NTT sangat membantu mengurangi dan menekan kasus di lapangan. Hal ini juga didukung oleh adanya pengujian laboratorium veteriner yang terakreditasi ISO 17025:2018 oleh Komite Akreditasi Nasional. Screnning test, surveilans, pengawasan dan monitoring yang rutin pada unit usaha budidaya bibit ayam sangat membantu mengurangi penyebaran penyakit Avian Influenza melalui lalu lintas produk. Karena bibit ayam dihasilkan oleh unit usaha yang bebas penyakit Avian Influenza. Namun mengapa masih saja ada serologis positif pada unggas di sektor 3 dan 4 ?
FAO membagi industri peternakan unggas atas 4 sektor yakni: (a) Sektor 1, adalah Perunggasan Terintegrasi yang menerapkan biosekuriti secara sangat ketat (high level bioscurity), (b) Sektor 2 adalah Peternakan Komersial yang melakukan pemeliharaan dalam ruangan tertutup dan menerapkan biosekuriti secara moderat, (c). Sektor 3 adalah Peternakan Rakyat (Small farmers), melaksanakan biosekuriti secara terbatas, karena masalah biaya sedangkan perkandangan terbuka, sehingga terjadi hubungan dengan unggas liar dan (d) Sektor 4, yakni Peternak Tradisional (back yard), yakni pemeliharaan ternak tanpa menggunakan kandang dan manajemen intensif dan biosekuriti tidak ada sama sekali. Wabah AI terutama menyerang sektor 3 dan 4 dan khusus pada tahun 2006 dan 2007, wabah AI pada umumnya hanya terjadi pada sektor 4.
Berdasarkan perkiraan risiko terjadinya kasus AI di NTT akibat pemasukan unggas dan produk unggas dari luar Provinsi NTT ke NTT menunjukan hasil kecenderungan yang sangat rendah karena unggas berasal dari peternakan sektor 1 dan 2. Namun yang perlu diperhatikan secara lebih serius adalah kemungkinan masuknya virus AI lewat burung liar karena sektor 3 dan 4 yang mencapai 36, 82% populasi unggas di NTT, tidak menerapkan biosekuriti yang bagus sehingga risiko terbesar masuknya AI ke NTT adalah lewat migrasi burung liar dan pemasukan unggas hobby secara illegal seperti ayam aduan, burung love bird, burung berkicau lainnya..
Risiko terjadinya kasus AI pada peternakan rakyat akibat burung liar
Populasi unggas di NTT Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2021 sebanyak 28.638.697 ekor terdiri atas 10.294.543 ekor ayam kampung, 212.933 ekor ayam petelur, 17.878.142 ekor ayam broiler, dan 253.079 itik (BPS Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2022) yang menyebar di 22 kabupaten/kota di NTT. Peternakan ayam kampung dan itik mencakup 36,82 % populasi unggas di NTT dan kebanyakan adalah peternakan system umbaran dan backyard sehingga penanganan kesehatan dan biosekuriti sangat sulit diterapkan.
Pada musim dingin, burung-burung liar bermigrasi ke arah selatan melintasi Indonesia yang terletak pada 6oLU – 11oLS. Indonesia termasuk ke dalam dua jalur migrasi burung pantai dunia yaitu jalur Asia Timur-Australia (East Asian-Australian Flyway) dan jalur Pasifik Barat (West Pacific Flyway). Jalur Asia Timur-Australia terbentang dari Alaska menuju Siberia Timur, Asia Timur melalui Timur Tiongkok, Asia Tenggara melalui Semenanjung Malaysia, Indonesia (termasuk Sumatera, Kalimantan, Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara), hingga menuju Australia dan New Zealand. Jalur Pasifik Barat terbentang dari Timur Rusia menuju Kepulauan Jepang, Taiwan, Filipina, Papua, hingga menuju Australia dan New Zealand
Pada musim gugur burung-burung pengembara dari utara mulai berdatangan, puluhan ribu ayam-ayaman berpindah melalui pesisir Timur Asia Tengah menuju tempat hidupnya sementara di Sunda Besar dan Nusa Tenggara. Penyeberangan utama adalah dari Cape Rachado di Semenanjung Malaysia menuju Pulau Sumatera. Beberapa minggu kemudian mereka menyeberangi Selat Sunda, berpindah-pindah di sepanjang pesisir utara Pulau Jawa, kemudian menyeberangi Selat Bali menuju Pulau Bali dan Nusa Tenggara (MacKinnon et al. 1992)
Migrasi burung liar yang merupakan reservoir virus H5N1 tersebut, dimulai pada bulan Juli dan semakin lama semakin banyak. Migrasi tersebut akan menularkan virus pada hewan-hewan domestik yang ada di jalur perjalanan mereka. Para ilmuwan meyakini bahwa burung-burung liar/ burung air yang bermigrasi membawa virus H5N1 dalam bentuk HPAI. Hal ini terbukti dengan kejadian luar biasa (KLB) Avian Influenza pada hewan di Asia Tenggara yang terjadi pada musim dingin 2003-2004. Saat itu, kepadatan burung-burung liar di Asia Tenggara berada pada puncaknya Suhu lingkungan yang relatif lebih rendah itu akan membuat virus bertahan lebih lama, karena dia mampu bertahan hidup di air pada suhu 22oC sekitar empat hari. Virus H5N1 dengan patogenitas yang tinggi (HPAI) dapat bertahan lama pada lingkungan dengan suhu udara yang rendah. Terlihat bahwa daerah yang rata-rata suhu udaranya rendah berisiko lebih besar terserang penyakit Avian Influenza. Syukurlah karena rata- rata suhu di NTT antara 26-28 C sehingga virus AI sulit berkembang. Kalaupun secara serologis ada, namun tidak sampai menimbulkan kematian.
Risiko terjadinya kasus AI pada peternakan rakyat akibat komunitas burung berkicau dan ayam aduan.
Selain itu, pemasukan ayam aduan dan burung berkicau yang harganya mahal oleh para pecinta burung berkicau dan ayam aduan, juga berpotensi untuk memasukan penyakit AI ke NTT, baik lewat jalur darat, laut maupun udara. Pemasukan unggas illegal ini cukup marak dan susah dikontrol karena dilakukan oleh para pecinta burung berkicau dan ayam aduan yang memiliki financial berlebih sehingga mereka bekerjasama dengan oknum aparat yang terkait. Di NTT hampir setiap tahun diadakan lomba burung berkicau oleh komunitas burung berkicau yang jumlahnya ratusan orang, yang mana burung- burung tersebut bukanlah burung endemik yang ada di NTT, melainkan dibawa dari Pulau Jawa yang notabone masih zona merah Avian Influenza. Ayam aduan juga menjadi factor risiko lainnya, dimana ayam aduan seperti ayam Bangkok, ayam Filipina, ayam Peru yang harganya mahal karena terkait dengan adat dan budaya masyarakat NTT yang hobby aduan ayam, bahkan pernah difasilitasi oleh Walikota Kupang. Ayam aduan ini juga bukan ayam endemik di NTT karena didatangkan dari luar NTT secara illegal sehingga status penyakit hewannya tidak jelas. Ayam aduan ini diikat/ dikandangkan bersama- sama dengan ternak unggas lain milik masyarakat, karena system pemeliharaan masih backyard. Kondisi ini semakin tak terkendali karena dijadikan arena judi oleh para pecinta ayam aduan yang tentu menghasilkan income tambahan, bahkan ada sebagian orang menjadikannya sebagai pekerjaan tetap dan bisinis yang menggiurkan.
Memperhatikan sistem pemeliharaan unggas di Provinsi Nusa Tenggara Timur yang 36,82 % masih backyard dimana biosekuriti sangat tidak diperhatikan, pemasukan ayam dan burung hobby yang tidak terkontrol, serta lalulintas burung liar yang sering melintasi daratan Timor dan berinteraksi dengan unggas milik masyarakat pada sektor 4, maka membebaskan NTT dari AI secara utuh bisa dilakukan walaupun agak sulit. Secara klinis, bisa menekan sampai nol kasus karena kondisi iklim yang panas mampu menahan terjadinya wabah, namun secara serologis sangat sulit diberantas. Pilihan paling masuk akal adalah pembebasan berbasis kompartemen yaitu kompartemen milik perusahaan unggas swasta yang telah menerapkan biosekuriti maksimum beserta peternak plasma binaannya ataupun pembebasan per zona Pulau per Pulau.